Pilkada Langsung, Pilihan Terbaik dari yang Terburuk
Manuver politik pasca pilpres terbilang cukup ekstrim, kalah dalam pemilu dan sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi membuat partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih ramai-ramai mendukukung pilkada melalui DPRD. Lebih naif adalah partai-partai yang lahir dari rahim reformasi justru mendukung secara tegas proses pilkada melalui DPRD. Atas dasar efisiensi anggaran, seluruh partai Koalisi Merah Putih kompak satu suara mendukung pilkada oleh DPRD yang revisi undang-undangnya tengah dibahas oleh DPR. Sejatinya, bukanlah sesuatu yang nista jika kepala daerah dipilih melalui DPRD. Bagi sebagian Negara yang menganut sistem parlementer, hal tersebut lumrah terjadi. Jauh sebelum revisi undang-undang pilkada digaungkan sekarang, Indonesia sudah kenyang mengecap pahit-manisnya periode pilkada melalui DPRD. Indonesia memang sedang dalam darurat mencari pemimpin yang jujur. Fakta banyak kepala daerah yang tersangkut kasus pidana korupsi tak terbantahkan. Biaya politik yang tinggi kala pencalonan dan masa kampanye, disinyalir menjadi ikhwal kepala daerah merampok kas daerah. Pun sama saja jika nanti kepala dipilih oleh DPRD. Bila dalam pilkada langsung biaya kampanye politik terdistribusi kepada masyarakat dalam bentuk; sajadah, kerudung, sembako, kegiatan masyarakat, atribut kampanye, dsb, pada pilkada melalui DPRD hanya akan terjadi deal-deal politik antara anggota DPRD dan calon kepala daerah. Akibatnya DPRD bisa leluasa mendikte kepala daerah sebagai konsekuensi dari imbal balik karena telah berhasil memenangkan kepala daerah. Belum lagi ada kontrak koalisi yang memungkinkan terpilihnya kepala daerah yang berasal dari usungan partai-partai Koalisi Merah Putih yang menjadi mayoritas di parlemen. Pada akhirnya, dikhawatirkan hal tersebut akan menjadi legitimasi untuk pemilihan presiden agar dilakukan oleh DPR nanti.
Otonomi daerah tentunya melahirkan beragam masalah kompleks yang terjadi di daerah, salah satunya adalah dalam proses pilkada. Disamping sedemikian mahalnya dana untuk menggelar pilkada yang menghabiskan kas daerah, pilkada langsung hanya jadi ajang adu kekuatan finansial dari calon kandidat kepala daerah. Namun, mengembalikan fungsi DPRD untuk memilih kepala daerah dalam sistem presidensial tentu salah alamat. Indonesia sudah terlanjur jauh melangkah meninggalkan sisa-sisa peninggalan rezim orde baru. Buah dari hasil pilkada langsung memang banyak muncul pemimpin-pemimpin yang akhirnya dibui oleh KPK. Tapi tidak bisa digeneralisasi hasil pilkada langsung hanya menghasilkan pemimpin buruk. Dari pilkada langsung justru banyak pula muncul pemimpin-pemimpin yang benar-benar melayani dan ada di masyarakat. Ridwal Kamil, Tri Risma Harini, Jokowi, Ahok, Bima Arya, Dr Nurdin Abdullah adalah sedikit pemimpin yang lahir dari pilkada langsung. Beruntungnya, sebagian dari mereka muncul di daerah-daerah yang bisa menjadi role model bagi daerah lain. Mereka adalah fenomena yang hanya akan terpilih jika melalui pilkada langsung.
Sejujurnya kita tentu tak bisa menyanggah atas fakta biaya politik yang sudah semakin tinggi, kita tak bisa berkelit dari fakta politik uang di masyarakat yang sudah semakin irrasional, kita harus menerima fakta pilkada langsung paling menghabiskan anggaran Negara, dan yang lebih memprihatinkan kita harus menerima fakta banyak kepala daerah hasil pemilihan langsung menjadi tersangka kasus korupsi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, tak lantas dengan merombak sistem pemilihan menjadi satu-satunya solusi untuk keluar dari peliknya problematika pemilihan kepala daerah langsung. Terlalu jauh mengambil hipotesa dengan mengembalikan fungsi DPRD memilih kepala daerah akan menjadi lebih baik. Secara politik anggaran, ini tentu lebih hemat dan murah ketimbang pilkada langsung. Namun, aroma persekongkolan antara calon kepala daerah dan DPRD akan semakin kuat. Citra dewan perwakilan (legislatif) sudah terlalu buruk di masyarakat. Suara-suara miring terhadap legislatif nyaring bahkan sebelum pemilu dilangsungkan. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap legislatif didukung dengan banyaknya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para legislator baik didaerah maupun pusat. Bagaimana kita bisa mempercayakan mencari seorang pemimpin kepada sekumpulan orang yang bahkan tak kita percayai?. Perlu pendekatan lebih rasional daripada sekedar mengubah proses pemilihan. Ini adalah tentang bagaimana mengubah sistem agar lebih baik dan efisien –dalam hal ini adalah anggaran—tanpa mengabaikan hak konstitusional warga negara. Jika pilkada terlalu banyak menghabiskan anggaran Negara kita bisa menawarkan pendekatan yang lebih murah dengan penetrasi teknologi dalam proses pemilihan, e-voting, misalnya. Jika pilkada hanya menimbulkan konflik di masyarakat dan menjadi ajang adu finansial antar kandidat, kita bisa mengajukan pembenahan kerangka hukum pilkada dan aturan pembatasan pembiayaan kampanye. Demokrasi membuka akses masyarakat untuk berpartisipasi, salah satunya dalam proses memilih pemimpin. Apabila masyarakat yang sudah semakin peduli akan perubahan di daerahnya, melalui pilkada langsung adalah salah satu cara mengeliminasi orang-orang yang memang tak layak untuk mengemban amanah menjadi pemimpin daerah.
Seorang gooner yang kebetulan sedikit suka baca dan nulis.
Comments